Friday, February 1, 2008

Kebijakan Orde Baru Terhadap Masyumi dan Islam Politik

Oleh : Yusril Ihza Mahendra

Mantan Mensesneg

Secara politik Islam dikalahkan, namun kesadaran keislaman terasa makin kuat di mana-mana. Kesempatan pendidikan yang luas yang diberikan oleh Orde Baru telah membuka peluang anak-anak Muslim untuk menempuh pendidikan. Tanpa disadari jumlah mereka sangat besar. Mereka mulai mengisi jajaran birokrasi, militer, dan kekuatan politik yang secara resminya sebenarnya waswas dengan Islam ideologis dan gerakan politik Islam. Usaha pemerintah untuk melakukan sekularisasi hukum perkawinan, misalnya, mendapat tentangan luas. Dalam situasi Islam mendapat tekanan, maka kesadaran terhadap Islam muncul ke permukaan.

Saya masih ingat suatu ketika Profesor Slamet Imam Santoso dan Profesor Selo Sumardjan mengatakan kepada saya kekecewaan terhadap Pemerintah Orde Baru yang mereka nilai menekan Islam. ''Lha, walau saya ini cuma Islam abangan, yang nggak pernah shalat, tetapi kalau Islam itu dimacem-macemin, saya juga tidak rela,'' kata Profesor Selo suatu ketika. ''Sebagai orang Islam, saya merasa tersinggung,'' kata beliau. Saya sangat heran dengan ucapan Prof Selo, karena selama kami menjadi mahasiswa kami tak pernah merasa beliau dekat dengan kelompok Islam.

Prof Slamet Imam Santoso juga begitu jengkel pada kebijakan anti-Islam Menteri Pendidikan Daoed Joesoef. Beliau bersama-sama Prof HM Rasjidi dan Prof Osman Raliby mengambil inistaif menatar dosen-dosen Agama Islam di UI agar mampu mengajarkan Islam dalam bahasa yang dimengerti oleh mahasiswa dari berbagai fakultas. Gejala serupa tampaknya terjadi di mana-mana. Saya sendiri, yang berlatar belakang pendidikan hukum dan filsafat ikut direkrut untuk mengajarkan Agama Islam dengan pendekatan yang lebih intelektual.

Puncak dari sikap anti-Islam ideologis dan politis dari Orde Baru adalah tatkala terjadinya Peristiwa Tanjung Priok. Sebelum itu berbagai operasi intelijen di bawah komando Benny Moerdani telah merekayasa berbagai gerakan ekstrem seperti Komando Jihad dan pembajakan pesawat terbang Woyla. Saya sendiri ketika itu bekerja di lembaga riset LIPPM yang dipimpin Anwar Harjono. Mohammad Natsir setiap hari datang berkantor ke lembaga ini. Sjafruddin Prawiranegara, Mohamad Roem, dan Boerhanoeddin Harahap juga sering datang. Pergaulan saya dengan mereka sangat dekat, sehingga saya pun sering dituduh sebagai ekstrem kanan. Setelah mereka ikut menandatangani Petisi 50, banyak pula tokoh lain seperti Ali Sadikin dan Hoegeng sering datang. Sejak 1978, kami tegas menentang asas tunggal Pancasila dan P4. Sampai P4 dihentikan di masa Presiden Habibie, saya tak pernah mau ikut penataran P4. Ini sama sekali tidak berarti kami menolak Pancasila sebagai falsafah negara.

Tak ada yang menyangsikan bahwa sikap anti-Islam ideologis dan politis di bawah Orde Baru ini tanpa arahan, atau paling tidak di bawah pengetahuan Presiden Soeharto. Soeharto sendiri berasal dari kalangan Jawa Abangan, walau di masa kecil pernah belajar di sekolah Muhammadiyah dan aktif belajar mengaji serta tidur di masjid di kampungnya. Namun, pemahaman Soeharto terhadap agama tergolong minim, begitu juga ketaatannya dalam menjalankan ibadah agama. Sampai akhir dekade 1980-an, rakyat tak pernah tahu apakah beliau mengerjakan shalat Jumat atau tidak. Tak pernah beliau tampak pergi menunaikan shalat di Masjid Baiturrahim di Istana Negara atau masjid lainnya. Walau begitu, Soeharto selalu mengucapkan salam baik di awal maupun di akhir pidatonya, meskipun di dalam teks ucapan salam itu tidak ada. Soeharto dan Ibu Tien hanya tampak menghadiri acara Nuzul Quran di Istana negara, dan peringatan Isra Mi'raj dan Nuzul Quran di Masjid Istiqlal. Dalam ucapan lisannya sehari-hari Soeharto lebih banyak mengutip mutiara-mutiara falsafah Jawa --terutama Ronggowarsito-- daripada merujuk kepada khazanah ajaran Islam.

Kesadaran Soeharto terhadap Islam mulai tumbuh ketika usianya kian senja. Dalam Muktamar Muhammadiyah di Solo pada 1985, tanpa diduga Soeharto mengatakan bahwa dia bersyukur pernah mengenyam pendidikan Muhammadiyah. Padahal, kata-kata itu tidak ada dalam teks pidato resminya yang disiapkan Mensesneg Moerdiono. Warga Muhammadiyah seolah mendapat angin segar. Saya mendengar sejak itu ada pengajian agama Islam yang dilakukan diam-diam di rumah Soeharto. Pelan-pelan Soeharto mulai menampakkan sosok keislamannya. Dia mendukung upaya Munawir Sadjzali untuk menciptakan UU Peradilan Agama pada 1989, dan kemudian mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Kompilasi Hukum Islam. Dua hal semacam ini hampir mustahil terjadi di awal maupun di pertengahan usia Orde Baru.

Dalam usia yang menjelang tua, Soeharto mulai menyadari bahwa Islam di Indonesia adalah kekuatan yang tak mungkin diabaikan, apalagi harus ditekan dan dipinggirkan. Hasil pembangunan sosial, pendidikan, dan ekonomi telah menyebabkan mobilitas vertikal anak-anak Islam dalam jumlah yang besar. Masyumi boleh dihadang, namun anak-anak keluarga Masyumi muncul di kampus-kampus sebagai akademisi yang andal dan berpengaruh. Di kalangan militer, anak-anak orang Masyumi telah menjadi perwira tinggi, demikian pula di jajaran birokrasi. Generasi tua Masyumi memang mulai surut ke belakang, namun anak-anak mereka, termasuk anak-anak ideologisnya mulai muncul ke permukaan. Mereka membawa kesadaran baru tentang Islam. Tidak selalu berwajah politik, kadangkala lebih bersifat kultural dan intelektual.

Menghadapi fenomena baru yang terjadi di akhir dekade 80-an dan awal 90, Soeharto mulai mendekat dan mengakomodasi Islam, walau tetap hati-hati pada kemunculan kekuatan ideologis dan politisnya. Dia merestui kelahiran ICMI dan memberi kesempatan kepada BJ Habibie untuk memimpin organisasi itu. Dia pergi haji, suatu hal yang tak terbayangkan akan dilakukannya. Soeharto juga mendirikan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila untuk mendukung pembangunan masjid di seluruh pelosok Tanah Air. Dia juga mendukung berdirinya Bank Muamalat, sebagai simbol bahwa Islam mulai merambah ke bidang ekonomi. Perubahan arah politik Orde Baru di saat menjelang akhir keruntuhannya, tentu menimbulkan ketidaksenangan kelompok-kelompok sekuler-pragmatis dan kelompok-kelompok non-Muslim, yang selama ini telah memanfaatkan Orde Baru untuk memperoleh manfaat yang besar. Keadaan ini, sebenarnya adalah suatu evolusi sosial yang tak terhindarkan. Semakin tua, Soeharto semakin menyadari kenyataan bahwa dirinya adalah seorang Muslim. Soeharto mulai shalat Jumat di Masjid Baiturrahim, suatu hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Di luar dirinya, dia menyaksikan tumbuhnya kekuatan baru Islam yang lebih segar, tidak berwajah terlalu politis seperti yang dikhawatirkannya, namun potensinya untuk memberikan warna keislaman pada wajah keindonesiaan cukup besar dan potensial.

Saya sendiri hampir tidak percaya ketika di akhir 1994, saya direkrut oleh Sekretariat Negara, lembaga yang di masa itu terasa menakutkan, dan terkesan sangat jauh dari Islam. Sebagai anak Masyumi yang selalu dicurigai sebagai ekstrem kanan yang kritis terhadap Orde Baru, saya merasa perlu berkonsultasi dengan Anwar Harjono sebelum menerima tawaran itu. Moerdiono, mensesneg ketika itu mengatakan kepada saya bahwa Presiden Soeharto suatu ketika mengatakan kepadanya bahwa saya ini "orangnya Natsir". Moerdiono mengiyakan, tetapi dia juga mengatakan kepada Presiden Soeharto bahwa saya masih muda dan bekerja secara profesional. Saya menyaksikan perubahan kebijakan Orde Baru terhadap Islam. Pada dasarnya saya tak memusuhi seseorang, tetapi bisa saja menentang kebijakannya yang tidak saya setujui. Karena itu, jika kebijakan berubah dan prilaku juga berubah, saya tak keberatan untuk bergabung. Sedikit banyak, saya ikut memberikan warna Islam pada ucapan dan kebijakan yang dijalankan pemerintah saat itu. Pancasila yang semula ditafsirkan sangat dekat dengan Kebatinan Jawa, secara perlahan mulai bergeser ke arah penafsiran yang sejalan dengan asas-asas Islam.

Bersamaan dengan itu, proses demokratisasi juga harus didorong. Walau saya menyadari bahwa jika demokratisasi berjalan, maka sendi-sendi Orde Baru yang justru dibangun dan ditopang dengan pemerintahan semiotoriter, pelan-pelan akan menjadi kekuatan yang akan meruntuhkan dirinya dari dalam. Hal ini lumrah jika terjadi, karena kekuatan yang didukung dengan cara-cara tidak demokratis, mustahil akan bertahan jika cara-cara yang demokratis mulai dilaksanakan.

Namun, perubahan kebijakan Orde Baru terhadap Islam terjadi pada saat-saat akhir menjelang keruntuhannya. Krisis moneter yang terjadi pada 1997, meluluh-lantakkan sendi-sendi perekonomian nasional. Keruntuhan ekonomi, dengan sendirinya akan berimbas pada keruntuhan kekuatan politik yang memerintah. Dalam situasi itu, menjelang Pemilu 1997, Presiden Soeharto telah menyinggung kemungkinan dirinya ''lengser keprabon, madeg pandito''. Namun, para pendukung setianya tetap menginginkan dia bertahan. Presiden Soeharto yang sudah terlalu lama berkuasa, mulai meragukan kemampuan pemimpin penerus, apakah mampu melanjutkan segala kebijakan yang telah dilakukannya. Ketika dipilih kembali tahun 1997, Soeharto mulai salah melangkah. Dia mengangkat Siti Hardiyanti Indra Rukmana, putrinya sendiri, dan Bob Hasan sebagai menteri.

Dalam suasana krisis ekonomi dan politik yang mulai mengancam stabilitas pemerintahannya, para aktivis reformasi mulai mengecam segala kesalahan kebijakannya, terutama terkait dengan maraknya KKN. Dalam situasi krisis yang makin dalam, kerusuhan terjadi di berbagai tempat, satu demi satu Presiden Soeharto mulai ditinggalkan para pendukungnya yang setia. Akhirnya dia seperti sendirian, ketika Saadillah Mursyid dan saya menemuinya pada malam tanggal 20 Mei 1998, dan Presiden Soeharto mengatakan akan berhenti keesokan harinya, setelah berbagai upaya untuk membentuk pemerintahan transisi --termasuk pembentukan Komite Reformasi dan mempercepat Pemilu-- gagal mendapat sambutan. Inilah titik akhir perjalanan Orde Baru. Namun, bukan titik akhir perjalanan Islam sebagai kekuatan sosial dan politik di Tanah Air. Islam telah, sedang, dan tetap akan memainkan peranannya dalam perjalanan sejarah bangsa dan negara kita, kini dan mendatang, baik dalam bentuk formal ideologis dan politis maupun dalam bentuknya yang lain.

No comments: